Kedai Bang Marbun, Sidikalang Hangat dan Hitung Cepat

Debashis RC Biswas, unsplash.com

Rabu, 27 Juni 2018.

Sore ini Kedai Bang Marbun lebih ramai daripada biasanya. Tidak mau kalah dengan kedai kopi kekinian dan kedai kopi franchise luar negeri di ujung jalan sana, hari ini seluruh menu kopi di kedai ini dipotong harganya sebesar 20%. Syaratnya cuma satu, menunjukkan jari yang sudah dicelup tinta ungu. Tidak heran jika kedai ini semakin sesak. Demografinya tetap sama, laki-laki di atas umur 30-an dan sebagian besar adalah ajudan pejabat di gedung rakyat di ujung jalan sana.

“Bos minumnya di kedai hijau-hijau itu lah. Kalau kita ya di sini saja,” sayup-sayup aku dengar dari salah satu laki-laki bersafari bertubuh tambun di meja dekat jendela.

“Eh bengong kau, mau minum apa?” Bang Marbun menghampiriku.

“Seperti biasa Bang, ditambah roti bakar srikaya.”

Walaupun ukurannya jauh lebih kecil daripada kedai kopi – atau cafe – di jalan ini, menurutku kopi Bang Marbun yang terbaik. Hampir semua orang yang datang ke kedai ini tahu, kopi Sidikalang adalah menu andalan Bang Marbun. Entah itu diseduh sebagai kopi tubruk atau diaduk dengan susu kental manis, takarannya selalu pas. Pahit, tidak terlalu asam, dan rasanya akan cukup lama tertinggal di tenggorokan setelah meminumnya. Biasanya kupesan kopi Sidikalang hangat tanpa gula dan susu, dan roti bakar Srikaya untuk memberikan rasa manisnya. Dari dulu hingga sekarang, kedua menu itu tak pernah berubah rasanya.

“Jadi…kau pilih siapa tadi?”

Sudah menjadi ciri khas Bang Marbun untuk menghampiri setiap pelanggannya untuk berbincang. Apalagi aku termasuk pelanggan perempuan yang paling setia.

“Abang tahu lah. Aku pilih yang kasih proyek saja hehehe. Nomor lima, Bang.”

“Ah dasar kau. Sampai kapan mau jadi tukang survei cabutan?” ujarnya sambil terkekeh.

Ada satu hal yang lupa aku sebutkan. Selain menjadi tempat ngopi ajudan, Kedai Bang Marbun juga menjadi tempat tukang survei cabutan seperti aku nongkrong dan kadang bertukar data. Kalau beruntung, aku bisa juga sesekali menggali informasi dari para ajudan dan sopir yang juga ngopi di sana. Dan Bang Marbun tahu, dalam dua kali Pemilihan Umum terakhir, pilihanku selalu berubah-ubah. Ini masih lebih baik daripada yang dulu, hari pemilihan saja selalu luput dariku.

“Kalau kau pilih siapa, Togar?” Bang Marbun menghampiri meja di sebelahku.

“Nomor tiga lah, Bang. Sudah jelas bibitnya, muda, ganteng, taat agama, keluarga baik-baik. Ini bukan karena aku dapat proyek lho, Bang,” ujarnya sambil menolehku.

“Wah sama kita. Percaya lah aku kalau si Abang ini tak mungkin korupsi seperti gubernur kemaren-kemaren.”

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk hormat ke Bang Togar. Pasangan nomor tiga ini memang belakangan mencuri perhatian dan kalau boleh jujur, menjadi saingan terberat pasangan calon nomor lima. Di provinsi yang kutinggali ini, gubernur keluar masuk penjara itu bukan hal yang baru. Entah berasal dari latar belakang tentara, anggota dewan hingga pejabat sementara pun tak luput dari kasus korupsi. Tak heran jika angka golput di sini cukup tinggi. Bahkan, dalam survei yang aku himpun, jumlahnya paling tinggi di tingkat nasional.

Pemimpin terakhir yang paling bersih dari kasus korupsi mungkin adalah Abang Saragih. Tidak kenal kata ampun untuk makelar proyek, gayanya sangat khas masyarakat asli provinsi ini: jujur dan tidak suka berbasa-basi. Abang Saragih sangat dicintai masyarakat hingga akhirnya menjabat selama dua periode. Kantor Gubernur selalu penuh dengan warga saat Abang Saragih menjabat, entah dengan mereka yang ingin mengungkapkan kekesalan atau hanya sekadar ingin berfoto bersama. Namun, yang lebih ramai adalah jalanan ibukota provinsi ini dua tahun lalu, ketika Abang Saragih wafat. Masyarakat berbondong-bondong mengantar Abang Saragih ke peristirahatan terakhirnya; mulai dari pejabat hingga tukang bentor*, tidak peduli agama apalagi suku.

Pasangan nomor tiga Pemilihan Umum kali ini adalah Patar Saragih dan Maruli Simanjuntak. Paruli-an, begitu akronim sekaligus jargon mereka yang katanya berarti “membawa keberuntungan”. Keduanya masih muda, dua orang di awal 40-an. Patar berlatar belakang pengusaha, dan Maruli adalah mantan Kepala Dinas Pariwisata. Dari namanya mungkin orang bisa menebak: Patar adalah putra Abang Saragih.

“Ah Abang tahu dari mana keluarganya baik-baik. Bukannya Patar itu punya selingkuhan artis ibukota?” tiba-tiba Imam menghampiri kami.

Imam memang senang menebar gosip. Dan yang kutahu sekarang ia bekerja untuk pasangan nomor satu, yang kalau aku boleh bilang paling kecil elektabilitasnya di Pemilu.

“Memang siapa artis ibukota-nya?” aku bertanya.

“Inisialnya – M. Apa si penyanyi dangdut Moni Fontana?”

“Ah kau ini macam bursa cawapres kemaren aja, pakai inisial-inisial segala.” Tawa pun meledak di kedai kopi kecil ini.

“Ssssst…ssst…Diam kelen.” Bang Marbun mengeraskan volume suara TV.

Kami semua terdiam. Bagi kami pelanggan setia Kedai Bang Marbun, kami sudah hafal stasiun TV yang selalu disetel di sini. TV di kedai ini tidak bisa diganggu gugat: hanya boleh menyiarkan stasiun TV Bernas alias Berita Nasional. Pernah suatu waktu Imam iseng-iseng mengganti saluran TV karena katanya ingin menonton gosip artis. Alhasil, ia didiamkan oleh Bang Marbun selama seminggu.

“Makin ganteng si Jo sekarang ya, Bang. Klimis kali rambutnya…” ujar Bang Togar.

“Cocok kali dia di Jakarta. Macam artis saja penampilannya,” Imam si tukang gosip ikut nimbrung.

Bang Marbun masih menonton TV dengan seksama. Matanya tidak berkedip dan raut kekaguman jelas terlihat di wajahnya. Sore ini stasiun TV Bernas tengah menayangkan hasil hitung cepat Pemilihan Gubernur di sejumlah provinsi, tak terkecuali di sini. Kami semua tahu, bukan deretan angka dan grafik yang menjadi perhatian Bang Marbun, tapi sosok dengan jas rapi di layar kaca: Jo Marbun atau yang dulu kukenal dengan Matonang Jogi Marbun.

“Kapan dia main ke sini lagi, Bang?” Imam bertanya sambil menyeruput kopi susunya.

“Heh, ssshhh.” Bang Togar melirik Imam seakan memberi kode.

Bagi kami pelanggan setia kedai kopi ini, sudah bukan rahasia lagi jika Bang Marbun sangat merindukan putranya, Jo. Sudah hampir delapan tahun Jo merantau ke ibukota dan belum pernah sekalipun ia pulang ke rumah. Aku teringat sosok Jo yang juga merupakan adik kelasku ketika SMA. Sosoknya yang pintar, ditambah lagi dengan wajah tampan dan badan bidang memang sejak dulu jadi idola. Ketika lulus kuliah ekonomi, Bang Marbun sangat berharap Jo bisa melanjutkan usaha kedai kopinya.

“Cocok kali dengan yang kau pelajari di kampus. Bisa lah kau urus keuangan kedai,”

Tapi, Jo katanya ingin tampil di TV. Karirnya dimulai dari stasiun TV lokal sebagai reporter biasa; dari meliput banjir hingga gempa bumi dan juga kasus korupsi, semua ia jabani. Dan ketika ia mengiyakan tawaran ‘naik pangkat’ ke stasiun nasional, Bang Marbun murka sekaligus bangga. Ia marah karena Jo tak meminta pendapatnya, namun ada kebanggaan tersendiri melihat putranya akan dikenal khalayak nasional. Ego keduanya membuat Bang Marbun dan Jo semakin berjarak hingga tak ada lagi komunikasi di antara mereka.

Waktu menunjukkan pukul 17.00 dan angka-angka hasil pemilihan di daerah pun mulai ramai muncul di teks bawah berita. Sudah ada dua cangkir kopi Sidikalang di depanku dan roti srikaya yang hari ini entah kenapa kurang membuatku berselera. Sampai tiba-tiba ponselku bergetar, tanda ada pesan masuk.

“Kamu di mana? Aku jemput ya.”

Kubiarkan pesan itu terbaca hingga terlihat dua centang biru. Tak kubiarkan pesan itu mengganggu konsentrasi mata ini ke deretan hasil hitung cepat. Walaupun bukan yang resmi, tapi tak jarang hitung cepat memang menunjukkan hasil dari lembaga pemerintah yang akan baru keluar satu dua bulan ke depan, itupun kalau tidak diperkarakan. 

“Kamu di kedai Bang Marbun kan? Nanti aku minta Bang Sadeli untuk jemput ya.”

Kubiarkan pesan itu hanya terbaca. Angka-angka terus bergerak. Tak disangka, pasangan nomor 1 ternyata tidak ada di nomor buncit. Kulihat Imam sedikit tersenyum. Setidaknya bos besarnya sedikit happy.

Kulihat Jo Marbun sedang mewawancarai seorang Direktur Komunikasi lembaga survei. Ingin melihat reaksi di media sosial katanya. Sambil mendengarkan mereka, kulihat pasangan nomor tiga terus unggul di hampir semua lembaga survei. Pasangan nomor lima-ku gagal jadi Gubernur. Ah, tak apa pikirku. Paling nanti mereka maju lagi sebagai calon anggota DPR. Yang penting bayaranku sudah di depan. 

“Oke, aku tunggu di sini ya,” kubalas akhirnya pesan itu. 

“Segera meluncur! Jadi, kita rayakan di mana, Marina?”

“Di mana saja. Kubantu nanti siapkan pidato kemenangan. Selamat ya, Patar.”

*bentor: becak motor

Jakarta, 4 Agustus 2020

Whatsapp Pagi Bapak

Joshua Hoehne, unsplash.com

*Seandainya Gendis bisa berbicara langsung dengan Bapak

“Kling, kling, kling, kling, kling.”

Tanda dimulainya pagi Gendis adalah setiap ada whatsapp pagi dari Bapak

Pagi ini jumlahnya ada lima, biasanya bisa delapan bahkan sepuluh pesan

Isinya macam-macam, mulai dari gambar kopi, kata mutiara hingga teori konspirasi

Kadang berita yang disebar Bapak benar adanya, tapi berita dunia maya juga tak selalu bisa dipercaya.

Kemarin whatsapp Bapak mengenai izin kota satelit baru di Jakarta

Hari ini Bapak berbagi tentang alasan Bapak Presiden suka memberi hadiah sepeda

Tidak jarang juga Bapak memberikan informasi kesehatan; makanan berkolesterol dan bahayanya

Entah besok apa lagi yang akan dibagi Bapak

Yang jelas di setiap akhir pesannya, Bapak selalu bilang, “Semoga kamu sehat selalu dan bahagia.”

Sering Gendis tidak mampu membaca rentetan whatsapp Bapak yang banyak sekali

Hingga kadang hanya ia jawab dengan tanda jempol, senyum atau hati

Bukannya tidak suka, hanya kadang ia sudah terlanjur diburu rutinitas setiap pagi

“Biarlah nanti pesan-pesan Bapak itu aku baca sepulang kerja malam nanti”

Walaupun nyatanya pesan-pesan itu lewat saja seiring bergantinya hari. 

*Seandainya dulu Bapak tidak seberani itu

Kadang Gendis merasa bersalah, namun kadang ia juga masih belum dapat menerima

Walaupun sudah hampir sebelas tahun berlalu, ternyata rasa marah itu masih ada

Andai Bapak dulu tidak usah membongkar soal rekening gendut jenderal atasannya

Pasti Bapak tidak akan pensiun secara tiba-tiba

Pasti Bapak masih bekerja, pasti Bapak masih bergelut dengan apa yang disenanginya. 

Saat ini, Bapak dan ponselnya bagai lagu dua sejoli band Dewa 19

Ponsel dan Bapak tercipta untuk saling menemani, begitu katanya lirik lagu lawas

Mata Bapak selalu tertuju pada layar lcd persegi panjang, menunggu pesannya dibalas

Bapak punya banyak grup; mulai dari grup SD hingga teman-teman sesama pensiunan

Grupnya selalu ramai, entah dengan foto reuni atau kisi-kisi pergantian menteri

Kadang infonya meleset, tapi tak jarang juga bocoran info Bapak cukup presisi.

Bapak bangga sekali dengan Whatsapp dan grupnya, tapi Gendis tidak

Gendis rindu Bapak yang bisa menatapnya saat bicara

Gendis rindu dengan Bapak yang tidak sibuk dengan layar dan kamera

Hingga suatu hari ponsel Bapak rusak, diam-diam Gendis dalam hati bergembira

Walaupun akhirnya ponsel itu ia perbaiki juga karena tak tega. 

Suatu hari juga pernah Arya datang ke rumah

“Tapi sepertinya Bapak tak suka aku ya”, begitu katanya

“Dimaklumi saja Nak, Bapak sedang asyik dengan grup Whatsappnya”, begitu nasihat Ibu kala itu

Ibu sering bilang, Whatsapp adalah hobi dan dunia baru Bapak saat ini

Makanya kami harus maklum, makanya kami juga tidak boleh mengeluh ini itu

“Yang penting Bapak bahagia”, begitu kata Ibu. 

*Seandainya Whatsapp Bapak bisa Gendis balas satu per satu

Ingin rasanya Gendis katakan, jangan sering membagi info dari situs x

Situs x itu punya pemerintahan saat ini, isinya bagus-bagus saja pasti

Ingin juga ia bilang; untuk apa kata-kata mutiara yang sekedar jadi penghias

Semangat itu harus nyata, bukan hanya pesan virtual semata. 

Sepertinya Bapak mulai mendengar isi hati Gendis

Hari itu beda seperti biasanya, Bapak menjemput Gendis sendiri sepulang kerja

Dulu Gendis malu sekali kalau dijemput sepulang sekolah, tapi sekarang ia rindu

Katanya, Bapak hari ini ingin traktir beli buku dan makan di restoran cepat saji

Kata Bapak lagi, ia ingin belikan buku cerita bergambar seperti saat sekolah dulu. 

Bapak banyak mengobrol selama perjalanan

Bertanya soal macam-macam; mulai dari kerja hingga Arya, dengan tak lupa menyisipkan kekaguman pada presiden kesayangannya

Sesekali saja Bapak melihat ke ponselnya

Namun cahaya merah dari benda itu tidak diacuhkannya

“Hari ini Bapak puasa Whatsapp, Nak,” begitu kelakarnya

“Kenapa tidak dari dulu saja, Pak”, ujar Gendis yang kemudian disambut tawa Bapak.

“Kling, kling, kling, kling, kling.”

Gendis terbangun dari tidurnya

Jarang sekali ia bisa tidur pulas, apalagi ditambah mimpi dijemput Bapak

“Hari ini akan kubalas Whatsapp Bapak berapapun jumlahnya”, begitu niatnya.

Hari itu, pesan Whatsapp Gendis ada lima, namun tidak ada satupun dari Bapak

Yang ada hanya pesan dari Ibu;

Sejenak Gendis terdiam membaca, hangat tiba-tiba di pelupuk matanya;

“Nak, pulang ya. Bapak seda.”

Jakarta, 22 September 2017

Senja Pulang Kampung

Raul De Los Santos, unsplash.com

Ini cerita tentang Senja, yang sedang berkelana
Menjadi satu dari belasan juta di ibukota
Macet, polusi dan asap kopaja, semua tak apa;
Atas nama mimpi dan cita-cita, katanya.

Kata orang tua, nama itu adalah doa
Senja lahir hari Sabtu Legi; sore hari waktu tenggelamnya mata hari
“Indah dan bersahaja”, begitu katanya soal filosofi nama “Senja”.

Senja sudah hampir dua tahun di ibukota
Kantornya gedung tinggi, buka pintu saja harus pakai ID
Setiap hari, harus di kantor dengan baju cantik dan sepatu tinggi.

Ah indah dan bersahaja, nama itu doa atau sugesti saja ya?

Jangan salah, bukannya Senja tak suka kerja di Jakarta
Walau setiap hari harus berdesakan di kereta
Apalagi di gerbong wanita
Kena cakar sering, bahkan sepatu Senja pernah ketinggalan di sana
“Didorong ibu-ibu, sepatu ketinggalan satu. Kaya Cinderella,”
Ah, hidup di Jakarta itu lucu ya, katanya.

Jangan salah juga, bukannya Senja tak cinta pekerjaannya
Walau pergi pagi dan pulangnya malam sekali
Apalagi kalau ada klien minta presentasi,
Senja pasti dibuat pusing setengah mati
Tapi, semua pasti dikerjakannya dengan sepenuh hati,
Walau bukan ia yang dapat nama, tapi ah…itu urusan nanti.

Senja juga bukannya tak senang kerja di korporasi
Ia bisa bertemu banyak orang; anggota dewan sudah biasa, apalagi pengusaha
Kliennya macam-macam; dari Pak Sandi yang baru jadi politisi, sampai Pak Agung si Bos Properti
Walau kadang…ya ada saja yang tak sesuai dengan kata hari
Tapi katanya, “menjadi dewasa adalah mencintai apa yang tidak kita sukai”,
Begitu nasihat mas Nadjib, tetangga Senja dari kubikel sebelah.

Jangan salah juga, bukannya Senja tak mau kembali ke kampung halaman
Pikirannya sering terusik dengan kedua orang tuanya yang menua di sana
Apalagi Kak Eka ikut istri tugas belajar, Kak Adi ikut kapal pesiar berlayar
Senja tahu, selalu ada kasak kusuk dari keluarga dan tetangga
“Punya anak perempuan satu-satunya kok dibiarkan jauh-jauh kerja?”
“Kasihan orang tuanya. Kok tega ya anak perempuannya?”
“Udah Pak, Bu, anak perempuannya jangan terlalu mandiri”,
Kadang Senja kesal, gerah, tapi juga maklum di dalam hati.

Bukannya juga Senja tidak rindu dengan kampungnya,
Walau tak ingin selamanya di Jakarta, tapi semua pasti ada waktunya
Apalagi hidup sendiri di kota besar memang rawan sepi,
Menyibukkan diri tapi kadang lupa mencari arti
Senja kadang rindu sawah atau pia hangat dari kampungnya;
Rasanya lebih enak dari pia eksklusif yang dijual dekat bandara;
“Yang ada logo penarinya itu loh…”, kata teman-teman kantornya kalau minta titip dibelikan.

Hari ini, akhirnya Senja pulang kampung
Terbayar juga lelahnya setelah bekerja saat orang-orang cuti bersama
Senja selalu suka waktu penerbangan sore hari; sesuai dengan namanya
Melihat langit Jakarta lalu disambut dengan lampu-lampu pantai di Kuta
Makanya Senja selalu suka duduk dekat jendela sambil membaca
Terbayang sudah wajah Ibu dan Ayahnya di rumah mereka;
Ibu dan Ayah yang selalu sabar dengan omongan keluarga dan tetangga.

“Lampunya dinyalakan aja mbak kalau mau baca,”
Gak usah mas, nanti ganggu.
Yang empunya suara malah menyalakan lampu
“Baca apa?”
Burung-burung rantau
“Oh Romo Mangun…Baline dije?*
Baturiti, Blinya?
“Singaraja. Surya”, sambil mengulurkan tangan ia berkata.

Sambil ngobrol, sesekali Senja melihat dari jendela, lampu di sekitar Kuta bercampur dengan warna jingga.
Ah indah dan bersahaja, Senja percaya semua akan baik pada waktunya.

*Balinya di mana?”

Jakarta, 5 Agustus 2017

Tahu Tek Pak Haji

pergikuliner.com

Kalau ke Surabaya, mampirlah ke Tahu Tek Pak Haji
Sudah puluhan tahun, bangunannya tetap bersahaja berdiri
Tahu, lontong dan tauge, disiram bumbu petis yang mesti
Boleh ditambah telur, asal jangan lupa tambah piti 
Begitu katanya Uda Sam, kawan kita dulu di sini.

Tahu Tek Pak Haji memang tiada duanya
Bukan cuma tahunya yang tidak asam, bumbu petisnya selalu juara
Pak Haji selalu tampil dengan pakaian khasnya: peci dan batik Madura 
Dengan lincah, dipotongnya tahu dengan gunting andalannya
“Ceklik, ceklik, ceklik”, begitu bunyinya.

Malam ini, seperti biasanya, Tahu Tek Pak Haji tak pernah sepi
Kulihat Pak Haji tak ada, rupanya anaknya yang bertugas: Cak Amri 
Di antara kerumunan orang-orang, aku duduk menanti
Seorang kawan, tujuh tahun yang lalu kutemui di sini
Ingin nostalgia sejenak sekaligus meracau dengan memori.

Tak lama menunggu, datang juga dia
Dengan kaos dan celana pendek, masih sama saja gayanya
“Kalau kamu sudah jadi anak metropolitan ya”, begitu kelakarnya
Kami pun tertawa, seperti dulu ketika masih mahasiswa
Berbicara tentang hidup: musik atau buku yang kita baca.

“Uda Sam sudah menikah, pulang kampung ke Bukittinggi”
Aku sedikit kaget dan mengernyitkan dahi 
“Dulu padahal katanya kalau umur 35 baru mau beristri”
Uda Sam memang tak bisa ditebak, namanya juga pekerja seni
“Cuma rasa tahu tek Pak Haji yang selalu pasti.”

“Bagaimana kabar Jakarta?”, dia bertanya
Riuh baru selesai Pilkada, jawabku sekenanya
“Kalau aku masih begini-begini saja”, ujarnya padahal tak ditanya
Aku ingat sekali topik wajib obrolan kami dulu: menjadi dewasa
“Jangan mau hidup seperti robot”, aku mengerti benar sindirannya.

“Masih menulis?”, dia bertanya lagi
Aku menggeleng pelan, dulu bagiku menulis itu impian yang merangkap hobi
“Jangan terlalu sibuk cari uang, ingat dulu punya mimpi”
Ah, tapi bagiku menjadi dewasa sekarang adalah menjadi mandiri
“Ternyata manusia itu pasti berubah ya”, ujarnya ke diri sendiri.

Sekelebat ingatanku kembali ketika masih mahasiswa
Ingin punya kedai teh; tempat cangkruk sekaligus ruang baca
“Kedai kopi sudah biasa, padahal teh juga banyak macamnya”, ujarku dulu bermimpi
Kalau dia, dari dulu ingin hidup dari berteater dan berpuisi
Kalau ada yang meragukan, dia beri contoh: Umbu Landu Paranggi dan Bapak Sapardi.

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda”
Awas nanti dibilang kekiri-kirian, ujarku bercanda
“Sampai sekarang dan nanti masih tetap relevan”, katanya setelah mengutip Tan Malaka
Ah relevan…hidup itu kan besar biayanya, aku berkata
“Hidup itu murah, yang mahal gaya hidupnya hahahaha”, aku tahu dia mengejek sambil tertawa

Waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam, cepat dan tak terasa
 “Tahu tek siji karo es teh manis, piro Cak?”, kami bertanya ke Cak Amri
Limolas ewu“, tahu tek Pak Haji memang masih murah seperti biasanya
“Pak Hajine ndi?”
“Lho sampeyan gak roh ta?”

Pak Haji ternyata sudah sejak dua tahun yang lalu pergi
Radang paru-paru karena kebanyakan rokok, begitu katanya sebabnya
Istri juga sudah pergi, akhirnya semuanya diwariskan ke Cak Amri
Pantas saja kulihat di dapur sekarang banyak anak muda
Tapi, suasana warung tetap saja, masih terpajang foto-foto artis ibukota
Dari Katon Bagaskara sampai almarhum Asmuni; semuanya berpose dengan senyum bangga Pak Haji. 

“Pulang naik apa?”, dia bertanya
Gampang, ada banyak taksi. Dari dulu kami selalu pergi sendiri-sendiri

“Si merah Astuti* masih ada?”, aku giliran bertanya
Sudah uzur, katanya. Diganti dengan yang ini…

Kulihat di tempat parkir memang tidak ada lagi si Astuti 
Yang ada Vespa, ternyata masih sama antik saja seleranya.

“Boleh aku titip pesan sebelum balik ke Jakarta?”
Boleh, aku mengangguk pasti
Urip iku urup“, hidup itu nyala artinya.

Aku mengangguk tanda setuju. Hidup katanya bukan hanya buat diri sendiri. 

“Sampai jumpa lagi ya”, tutupnya.

“Jadi…yang fana adalah waktu. Tahu tek Pak Haji abadi?” selorohku mengutip Pak Sapardi.

Kamipun tertawa, seperti tujuh tahun lalu, waktu masih naif dan bermimpi, waktu masih menjadi mahasiswa, waktu masih ditemani suara gunting Tahu Tek Pak Haji.

*Astuti: Astrea tujuh tiga

Jakarta, 26 April 2017 

Nasi Pecel

Wikimedia Commons

Barangkali mungkin karena rambutmu yang beruban
Atau mungkin karena idealismemu yang agak berlebihan
Tentang dunia sekitar; kepercayaan; lingkungan yang kau banggakan
Membuat mereka hormat dan sungkan
Tak peduli dengan usiamu yang masih dua puluhan
Dan walaupun tingkahmu yang kadang masih kekanakan.

Aku pun sebenarnya turut segan
Namun, kuikut saja menyelam ke dalam pertanyaan-pertanyaan
Yang aku tulis seadanya dalam notes merah kecil….ya buku catatan
Kaupun ikut langsung serius kemudian
Bercerita tentang angka, menebak-nebak hitungan
“Wah susah sekali dan tak ada jumlah pasti”, kau ucapkan.

Barangkali mungkin karena kau punya pengetahuan
Atau mungkin karena kau lekat dengan kesederhanaan
Tentang dunia sekitar; kepercayaan; lingkungan yang kau banggakan
Yang membuat aku hormat dan sungkan
Tak peduli kau bilang tak tahu rentang formalnya pendidikan
Dan walaupun kau bilang orang pintar hanya datang ketika ada yang diinginkan.

Aku pun jadi semakin segan.
Sedikit enggan melanjutkan pertanyaan.
Sampai ada si mbok yang lewat di depan,
“Suka nasi pecel?” kau tanyakan
“Tentu, itu makanan favorit saya,” aku jawab kemudian.

“Hahaha, sudah jangan terlalu serius, ayo makan.”
Ah, kuikut saja menyelam, tetap dalam pertanyaan
Kali ini bersama dengan petai cina dan bunga turi, dalam pincuk sarapan.

Denpasar – Sidoarjo

31 Juli 2015.